29/08/11

Senin, 29 Ramadhan 1432 H

Assalamu'alaikum
Alhamdulillah bahwa sekarang kita telah berada dipenghujung bulan Ramadhan 1432 H. Semoga di hari Idul Fitri nanti kita semua berada dalam kemenangan yang agung.aamin :)
Dan semoga kita dapat melaksanakan puasa Ramadhan lagi tahun depan, aamin.

Kali ini, sahabat blogger sekalian, saya akan menceritakan tradisi masyarakat suku Sasak yang berkaitan dengan hari Lebaran.
Tradisi itu adalah Lebaran Topat dan Perang Topat.

1. Lebaran Topat
Berbagai daerah di Indonesia memiliki cara tersendiri dalam memperingati hari ke tujuh setelah Lebaran Idul Fitri. Namun pasti memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing.
Di Lombok sendiri, perayaan itu dinamakan Lebaran Topat (ketupat). Diisi dengan kegiatan berwisata bersama baik itu ke lokasi wisata rohani (makam leluhur) atau lokasi wisata keluarga lainnya. Di hari itu masyarakat berwisata dengan membawa makanan khas sasak diantaranya adalah telok opor, olah-olah, serebuk, jaje bantal(jajan dari ketan) dan ketupat tentunya.
Makanan itu dinikmati bersama sembari menikmati wisata keluarga. Ketupat digunakan sebagai pengganti nasi untuk makan.
Lebaran ketupat biasanya juga disemarakkan dengan Upacara Perang Topat.

2. Perang Topat
Perang??
Biasanya jika sahabat Blogger mendengar kata perang pasti akan mengartikan sebagai perpecahan, pertumpahan darah, anarkis, brutal dan lain sebagainya yang negatif. Namun Perang yang dilaksanakan di Pura Lingsar, Kec. Narmada, Kab. Lombok Barat ini sangat jauh dari kata-kata negatif di atas. Justru Perang Topat ini merupakan simbol syukur atas hasil ladang masyarakat Sasak dan juga simbol perekat perdamaian masyarakat Hindu dan Islam di Lombok.
Pada Perang Topat ini, wanita yang sedang haid tidak boleh berpartisipasi. Sehari sebelum acara Perang Topat, ada upacara permulaan kerja atau penaek gawe. Ada lagi acara mendak alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung.
Perang Topat dimulai dari pelemparan ketupat pertama oleh sesepuh yang dipercaya, kemudian diikuti oleh warga lainnya.Kemudian seluruh ketupat yang dilemparkan tersebut diperebutkan warga dan semuanya wajib diambil meskipun dalam keadaan penyok sekalipun.
Kemudian ketupat (topat) yang sudah didapatkan digunakan untuk saling lempar (perang). Tidak ada saling dendam dan saling menyalahkan di antara peserta. Semua hanya untuk kesenangan dan simbol damai serta syukur.
Beberapa warga pun sering membawa ketupat yang telah digunakan "berperang" untuk disematkan di sawah mereka. Mereka percaya bahwa dengan hal ini dapat menambah kesuburan dan produktifitas ladang mereka.
Jika menilik sejarahnya sahabat Blogger, Perang Topat sendiri tidak jauh-jauh dari kehidupan kerajaan tempo dulu di Lombok.Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan (Lombok Utara). Saat tongkat itu ditarik, air langsung menyembur ke permujaan, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar.

Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.

Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.

Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah.


Sekian dulu cerita saya sahabat Blogger, jika ada kritik dan saran silahkan poskan di komentar box :)

Assalamu'alaikum.

-FA-