23/08/10

Busana Adat Sasak dalam perkembanganya dipengaruhi oleh

budaya Etnis Melayu, Jawa, Bali dan Bugis. Pengaruh dari

berbagai etnis tersebut beralkulturasi menjadi satu dalam tampilan

Busana Adat Sasak. Busana adat Sasak di berbagai lokus budaya/

sub etnik juga kita dapatkan berbagai bentuk variasi yang

mencirikannya. Dikarenakan budaya Sasak bersendikan agama

maka busana Sasak disesuikan dengan aturan agama yang dianut

( mayoritas orang Sasak ; pemeluk Islam). Pemakaian busana adat

dilakukan untuk kegiatan yang berkenaan dengan adat dengan

tatacara yang beradat. Busana Adat berbeda dengan pakaian

kesenian yang boleh memakai “sumping” , berkaca mata hitam,

menggunakan pernik-pernik yang menyala keemasan. Dalam

ketentuan dalam seminar dan lokakarya Pakain Adat Sasak yang

dihadiri oleh para budayawan dan masyarakat adat, telah

disepakati pedoman dasar busana adat sasak , jenis dan

maknanya sbb.

1. A. Busana Adat Sasaq laki-laki dan maknanya :

- Capuq/Sapuk ( batik, palung , songket) : Sapuk

merupakan mahkota bagi pemakainya sebagai tanda kejantanan

serta menjaga pemikiran dari hal-hal yang kotor dan sebagai

lambang penghormatan kepada Tuhan yang maha esa. Jenis dan

cara penggunaan sapuq pada pakaian adat sasak tidak

dibenarkan meniru cara penggunaan sapuq untuk ritual agama

lain.

- Baju Pegon ( warna gelap ) : Pegon merupakan busana

pengaruh dari jawa merupakan adaptasi jas eropa sebagai

lambang keanggunan dan kesopanan. Modifikasi dilakukan

bagian belakang pegon agak terbuka untuk memudahkan

penggunaak keris. Bahan yang digunakan sebaiknya berwarna

polos tidak dibuat berenda-renda sebagaimana pakaian kesenian.

- Leang / dodot / tampet ( kain songket) : motif kain songket

dengan motif subahnale, keker, bintang empet dll ) bermakna

semangat dalam berkarya pengabdian kepada masyarakat.


- Kain dalam dengan wiron / cute : bahannya dari batik jawa

dengan motif tulang nangka atau kain pelung hitam. Dapat juga

digunakan pakain tenun dengan motif tapo kemalo dan songket

dengan motif serat penginang .Hindari penggunaan kain putih

polos dan merah . Wiron / Cute yang ujungnya sampai dengan

mata kaki lurus kebumi bermakan sikap tawadduk-rendah hati.


- Keris : Penggunaan keris disisipkan pada bagian belakang

jika bentuknya besar dan bisa juga disisipkan pada bagian depan

jika agak kecil. Dalam aturan pengunaan keris sebagai lambang

adat muka keris ( lambe/gading) harus menghadap kedepan, jika

berbalik bermakna siap beperang atau siaga. Keris bermakna :

kesatriaan- keberanian dalam mempertahankan martabat.

Belakangan ini karena keris agak langka maka diperbolehkan juga

menyelipkan “pemaja” (pisau kecil tajam untuk meraut).


-Selendang Umbak ( khusus untuk para pemangku adat ): Umbak

adalah sabuk gendongan yang dibuat dengan ritual khusus dalam

keluarga sasak. Warna kain umbak putih merah dan hitam

dengan panjang sampai dengan empat meter. Dihujung benang

digantungkan uang cina ( kepeng bolong). Umbak sebagai

pakaian adat hanya digunkan oleh para pemangku adat,

pengayom masyarakat. Umbak untuk busana sebagai lambang

kasih sayang dan kebijakan.

1. B. Busana Adat Perempuan dan maknanya :

- Pangkak : Mahkota pada wanita berupa hiasan emas berbentuk

bunga-bunga yang disusun sedemikian rupa disela-sela konde.


-Tangkong : Pakaian sebagai lambang keanggunan dapat berupa

pakaian kebaya dari bahan dengan warna cerah atau gelap dari

jenis kain beludru atau brokat. Dihindari penggunaan model yang

memperlihatkan belahan dada dan transparan .

-Tongkak : Ikat pinggang dari sabuk panjang yang dililitkan

menutupi pinggang sebagai lambang kesuburan dan pengabdian

-Lempot : Berupa selendang/kain tenun panjang bercorak khas

yang disampirkan di pundak kiri. Sebagai lambang kasih sayang.

- Kereng : Berupa kain tenun songket yang dililitkan dari

pinggang sampai mata kaki sebagai lambang kesopanan, dan

kesuburan.

-Asesoris : Gendit /Pending berupa rantai perak yang lingkarkan

sebagai ikat pinggang, Onggar-onggar ( hiasan berupa bunga-

bunga emas yang diselipkan pada konde) jiwang / tindik (anting

-anting), Suku /talen/ ketip ( uang emas atau perak yang dibuat

bros) kalung dll. Catatan : Pemakaian alas kaki dibenarkan

meskipun pada aslinya tidak digunakan. Alas kaki yang boleh

digunakan berupa selop baik yang dibuat dari bahan karet

maupun kulit. Belakangan ini pada wanita yang menggunakan

jilbab tetap bisa dibenarkan dengan modifikasi menambah

mahkota yang dihias sebagaimana penggunaan konde/cemara.

29/04/10

RUMAH SADE, SEBUAH POTRET BUDAYA SASAK

Jika di daerah lain mengenal "Desa Wisata", maka di Pulau Lombok juga dapat ditemui hal serupa yakni di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dusun Sade barangkali cukup mewakili untuk disebut sebagai Desa Wisata layaknya Desa Wisata di daerah lain. Sebab, masyarakat yang tinggal di dusun tersebut semuanya adalah Suku Sasak. Mereka hingga kini masih memegang teguh adat tradisi. Bahkan, rumah adat khas Sasak juga masih terlihat berdiri kokoh dan terawat di kawasan ini.
Suku Sasak adalah penduduk asli dan mayoritas di Pulau Lombok, NTB. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab itu, Suku Sasak disebut "Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi".
Sedangkan kebudayaan Suku Sasak itu diantaranya terekam dalam rumah adat Suku Sasak. Alasannya, rumah memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat secara individu dan keluarga secara jasmani, tetapi juga dalam pemenuhan kebutuhan jiwa atau spiritual.
Rumah adat Suku Sasak, jika diperhatikan dibangun berdasarkan nilai estetika dan kearifan lokal. Orang sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat ritual adat dan ritual keagamaan.
Rumah adat suku Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi sejak nenek moyang mereka.
Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan paku dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah memiliki dimensi kesakralan dan keduniawian. Rumah adat Sasak selain sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat ritual sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang, penunggu rumah dan sebagainya.


Perubahan pengetahuan, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor eksternal seperti faktor keamanan, geografis dan topografis, menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisional.
Karena itu, untuk menjaga kelestarian rumah adat, orang tua Suku Sasak biasanya berpesan kepada anak-anaknya jika ingin membangun rumah. Jika tetap mau tinggal didaerah setempat, maka harus membuat rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Tapi, jika ingin membangun rumah permanen seperti di kampung-kampung lain pada umumnya, mereka dipersilahkan keluar dari kampung tersebut.

Pembangunan Rumah
Bahan pembuat rumah adat suku Sasak diantaranya kayu penyanggga, bambu, bedek untuk dinding, jerami dan alang-alang untuk atap, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran pengeras lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami sebagai bahan pengeras lantai.
Waktu pembangunan, biasanya berpedoman pada papan warige dari primbon tapel adam dan tajul muluk. Tidak semua orang mampu menentukan hari baik. Biasanya mereka bertanya kepada pimpinan adat.
Orang Sasak meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah adalah bulan ketiga dan keduabelas penanggalan Sasak yakni Rabiul Awal dan Dzulhijjah.
Pantangan yang dihindari untuk membangun rumah adalah pada Muharram dan Ramadhan. Menurut kepercayaan, rumah yang dibangung pada bulan itu cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki dan lain-lain.
Orang Sasak selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah. karena mereka meyakini tempat yang tidak tepat akan berakibat kurang baik, seperti i bekas perapian, bekas pembuangan sampah, bekas sumur, posisi tusuk sate (susur gubug).
Orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq lenget).
Rumah adat Sasak pada atapnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah (pondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dinding dari bedek, hanya mempunyai satu ukuran kecil dan tidak ada jendela.
Ruangannya (rong) dibagi menjadi inak bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalam berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau empat persegi panjang. Sempare diletakkan diatas, posisi menggantung di langit-langit atap.

Ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Diantara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda, getah dan abu jerami.
Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Pembangunan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga kebutuhan kelompok.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari berbagai macam diantaranya Bale Tani, Bale Jajar, Barugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonder, Bale Beleq Bencingah dan Bale Tajuk. Nama bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing.
Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani. Bale Jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah keatas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya.
Barugaq/sekepat berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa dinding, penyangganya dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Barugaq biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani.
Barugaq berfungsi tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Barugaq juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar/pacaran).
Sedangkan sekenam bentuknya sama dengan barugaq, hanya sekenam mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
Bale Bonder adalah bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki para pejabar desa, dusun/kampung. Bale bonder biasanya dibangun di tengah pemukiman atau di pusat pemerintahan desa/kampung. Bale bonder digunakan sebagai tempat pesangkepan/persidangan atas, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat dan sebagainya.
Bale Beleq adalah satu sarana penting bagi sebuah kerajaan. Bale itu diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar kerajaan sehingga sering disebut juga "bencingah".
Upacara kerajaan yang dilakukan di bale beleq adalah Pelantikan pejabat kerajaan, penobatan putra mahkota kerajaan, pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (pendita) kerajaan, tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen kerajaan dan sebagainya.
Bale Tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale Tajuk berbentuk segilima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga santana.
Bale Gunung Rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan, bale balaq dibangun dengan tujuan menghindari bencana banjir. Oleh karena itu, biasanya berbentuk rumah panggung.
Selain bangunan itu, ada bangunan pendukung yakni Sambi, Alang dan Lumbung.
Sambi, tempat menyimpan hasil pertanian. Alang sama dengan lumbung berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian
, hanya alang bentuknya khas, beratapkan alang-alang dengan lengkungan 3/4 lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam ke atas.

Lumbung, tempat untuk menyimpan berbagai kebutuhan. Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang sebab lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat khusus diluar bangunan rumah.


Nilai-nilai
Jika diperhatikan, pembangunan rumah adat Suku Sasak sebenarnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan itu berkembang dan berlanjut secara turun-temurun.
Atap rumah tradisional Sasak didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil, bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan rumah.
Arah dan ukuran yang sama rumah adar Suku Sasak menunjukkan bahwa masyarakat hidup harmonis. Sedangkan undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketakwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap manusia tidak akan sama. Diharapkan semua manusia menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, kareba semuanya merupakan rahmat Tuhan.
Jadi, rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam mengejwantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam dan dengan Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada pada pembangunan rumah adat masyarakat Sasak. (*)
Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) merupakan dusun yang masih tetap memegang teguh tradisi Sasak asli. Dusun yang dikenal dengan bangunan rumah adat ala Sasak asli sebagai ciri khas ini, dirasa tidak asing lagi. Inilah pariwisata kebudayaan, namun kekayaan budaya yang terkandung di dalamnya kurang mendapat perhatian dari pemangku kepentingan. Bagaimana keadaannya kini?

DUSUN yang tidak jauh dari tempat rencana Pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL) ini memang menjadi salah satu maskot pariwisata budaya yang dimiliki NTB khususnya Loteng. Berbagai macam budaya asli Sasak yang tidak ditemukan di daerah lain, masih utuh dalam keseharian warga di sana.

Mulai dari bangunan rumah yang beratap ilalang. Kemudian bentuk bangunan tua dengan pintu yang lebih pendek dari pemiliknya (orang dewasa), sehingga ketika masuk harus menunduk. Bentuk bangunan ini sangat berbeda jauh dengan bentuk rumah masyarakat kebanyakan. Bangunan lumbung-lumbung desa yang menjadi ikon Lombok pun bisa ditemukan di tempat ini. Ingin mencari filosofi orang Ssasak asli? Jawabannya adalah tempat unik yang kaya budaya ini.

Selain itu, beragam pakaian asli Sasak yang dikerjakan tangan-tangan terampil wanita Sade ada di dusun itu. Kain-kain yang ada, merupakan kain tradisional sesekan (tenun) yang ditenun sendiri dengan alat sederhana dan tradisional. Tidak hanya itu, warga setempat juga bisa membuat aksesoris berupa gelang, kalung dan sebagainya.

Inaq Miaqim (40) salah seorang warga Dusun Sade mengaku bahwa desa ini, belakangan kurang begitu mendapat perhatian. Baik dalam hal pengadaan infrastruktur sebagai penunjang pariwisata maupun upaya mempertahankan budaya yang terpendam di dalamnya.

Janda empat anak yang sehari-hari menenun ini (nyesek-Bahasa Sasak) mengatakan desa ini masih sangat kekuarangan air bersih. Apalagi di musim kemarau seperti sekarang ini. Sumur-sumur warga yang menjadi sumber air bersih, sejak sebulan terakhir. masyarakat telah sebulan terakhir mulai mengering.

Sementara, janji pemerintah katanya hanya sebatas janji. Hingga sekarang belum juga terealisasi. Dengan logat Sasak Dusun Sade yang khas, Miaqim menambahkan, sebulan terakhir ini, warga terpaksa antre di buwun (sumur) tempat pengambilan air bersih. Ia berharap besar agar janji membangun sarana air bersih itu segera terealisasi.

‘’Edak pam lek te, (tidak ada perusahaan air minum yang masuk ke sini),’’ keluhnya. Padahal yang paling dikhawatirkan Miaqim, ketiadaan air membuat dia harus berhati-hari menyalakan perapian. Pasalnya jago merah dinilai terus mengintai atap rumah yang memang sangat mudah terbakar.

Tentunya tidak diinginkan Miaqim kasus tahun 2006 lalu terulang di Sade. Si jago merah di masa itu telah membakar sebagian Kampung Sade yang akhirnya sekarang beralih menggunakan genteng untuk atap rumahnya. Kejadian di tahun 2006 lalu membuat Miaqim sebenarnya sangat ingin membangun rumahnya dengan beratap genteng. Namun karena ingin mempertahankan keaslian Dusun Sade serta adanya imbauan pemerintah, Miaqin pun tunduk.

Kepatutannya terhadap perintah pemerintah membuat ia terus bertahan, di samping juga karena pertimbangan untuk mempertahankan ciri khas dusun padat yang terdiri dari 250 Kepala Keluarga (KK) dengan luas 5 hektar ini.

Benar saja, dari pantauan Suara NTB rumah-rumah yang dibangun di perbukitan ini terlihat minim air. Ironisnya lagi, di tempat peribadatan penduduk saja, telihat banyak debu yang berterbangan. Meskipun nuansa premitif muncul di tempat penduduk yang rata-rata bisa menenun ini, namun kesan kurang nyaman muncul dari pengunjung. Daniel salah satu turis Australia mengakui, Kampung Sade sangat menarik. Namun ia mengeluhkan banyak debu.

Hal lain yang menimbulkan keprihatinan yakni tradisi andalan warga dusun itu nyaris punah ditelan zaman. Pasalnya, arus globalisasi yang semakin menggerogoti tidak didukung dengan upaya mempertahankannya.

H.L. Putria, selaku pemangku adat dan budaya di Loteng mengaku budaya Sasak yang terpendam di Dusun Sade sedikit tergerus arus. Budaya yang menjadi kekayaan tiada tara itu, sedikit mengalami pergeseran.

Upaya mempertahankan tradisi khas Lombok tersebut, dikatakan Putria memang menjadi kewajiban masyarakat. Hanya saja, dukungan dari pemerintah semestinya terus ditingkatkan. Terus mempertahankan kearifan lokal merupakan keinginan mulya. Namun tanpa dukungan pemerintah, upaya itu akan sia-sia.

Terkait hal itu, kesempatan terpilihnya gubernur baru mambuat ia menaruh harapan besar. Ia mengatakan budaya dan agama harus bisa dijalankan secara beriringan. Tidak diinginkan kedua elemen yang sudah melekat erat di masyarakat adat diperlakukan pincang.
Kekayaan budaya karya urip (seperti pernikahan, kikir gigi) dan karya pati (seperti nyusur kubur, nelu, nyiwak dan sebaginya) yang dimiliki masyarakat harus terus dipertahankan.

04/02/10


Tradisi nyongkolan dan sorong serah atau penganten laki-laki mendatangi rumah penganten perempuan secara beramai-ramai bagi masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) akhir-akhir ini semakin semarak dan biasanya dilaksanakan pada hari Minggu.
Diperoleh penjelasan bahwa di Kota Mataram saja ada sekitar lima penganten yang melakukan nyongkolan baik lakinya yang berasal dari Lombok Timur maupun Lombok Barat.
Sementara jika berjalan dari Mataram baik ke Lombok Timur maupun Lombok Tengah akan menjumpai warga yang sedang melakukan nyongkolan, sehingga jalan jadi macet.
Tradisi nyongkolan hampir dilupakan warga setempat, namun setelah diadakan gelar Bulan Apresiasi Budaya (BAP) oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, maka nyongkolan kembali semarak.
Tokoh masyarakat Lombok Amaq Yusuf (50) mengatakan, dalam acara nyongkolan biasanya diiringi dengan berbagai kesenian tradisional seperti kecimol, gendang beleq (gendang besar) dan rudat sebagai kesenian ala Timur Tengah dengan menampilkan berbagai gerakan pencak silat.
Masyarakat yang akan melakukan nyongkolan semuanya memakai pakaian adat Lombok, yakni untuk laki-laki memakai baju piama warna hitam, ikat kepala dan menyelipkan keris baik di depan maupun di belakang, sementara perempuan memakai pakain baju kebaya atau lambung.
"Nyongkolan dilakukan setelah akad nikah dilaksanakan sekitar seminggu dan acara ini sebagian besar diikuti oleh para pemuda dan remaja," katanya.
Kakanwil Departemen Agama NTB, Drs. H. Lalu. Suhaimy Ismi mengatakan, angka perkawinan di NTB terutama di Lombok cukup tinggi bahkan tertinggi di Wilayah Nusa Tenggara.
"Kita belum menyebutkan berapa angka perkawinan per tahun, namun tingginya angka perkawinan tersebut dilihat dari sejumlah Kantor Urusan Agama (KUA) selalu kekurangan buku nikah," katanya.
"Pernah sejumlah KUA di daerah ini diprotes masyarakat, karena tidak memiliki buku nikah, sehingga segera mungkin buku nikah didroping ke KAU yang bersangkutan," katanya.